horor - HMI BLITAR RAYA | HMI Komisariat Syarif Hidayatullah Blitar
kasihmura.com
|
Profil G+ Profil Facebook Profil twitter profil Youtube rss feed comment feed
Headlines News :

Test Footer 2

Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » horor

horor

Written By HMI Blitar on Jumat, 12 April 2013 | 07.43



KAPITALISME DAN MEDIA; KAWAN ATAU LAWAN?
OLEH
M.SIROJU MUNIR[1]

Kapitalisme pertama kali muncul di Eropa dengan bapak moyang Adam Smith. Munculnya kapitalisme dikarenakan adanya revolus industry di Inggris yang menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin. Tenaga manusia banyak yang di istirahatkan (PHK) karena denan menggunakan tenaga mesin produksi semakin meningkat dan dan dengan waktu yang semakin singkat. Ketimpangan ekonomi terjadi di Eropa, produksi bsar-besaran dengan daya konsumsi yang kurang karena masyarakat tidak mempunyai uang untuk membeli keperluan.
Adam smith dengan pemikirannya[2]menegaskan bahwa perlu adanya pasar baru untuk mendistribusikan produksi yang berlebih di Eropa serta mencari bahan baku sebanyak-banyaknya dari tanah jajahan. Hal inilah yang menjadikan dasar dari kolonialsme Eropa. Eropa mencari tanah jaahan baru untuk mendapatkan kekuasaan dengan semboyan 3G (Gld, Glory, Gospel). Dan melaluisemboyan inilah muncul kejahatan luar biasa di muka bumi khusunya di Asia-Afrika.
Cuplikan tulisan di atas adalah sedikit sejarah tentang kapitalisme dimana kapitalisme yang merupakan ideology yang berbasis pasar dan penguasaan alat-alat produksi mampu menghegemoni dunia saat ini. Kapitalisme hari ini tentuberbeda jauh dengan kapitalisme tradisional (kapitalisme purba). Kapitalisme sekarang secara konsep,teknis, dan segala perangkatnya tentu lebih canggih karena melalui up-greed secara terus-menerus dan lebih dikenal dengan neo-kapitalisme.
Efek dari ideoloi kapitalisme sangat dirasakan dalam sendi-sendi kehidupan mulai dari kalangan atas (jet-set) hingga kalangan paling bawah(kaum marginal). Bagi kalangan atas (jet-set) kapitalisme adalah suatu keniscayaan zaman sehingga haus dimanaatkan dengan alan menguasai alat-alat produksi sebanyak-banyaknya agar menjadi pelaku capital. Penguasaan alat-alat produksi (pabrik, kekuasaan, hal-hal yang dibutuhkan orang banyak) merupakan hal-hal yang pkok agar tidak terdepak dari lingkaran capital. Sedangkan bagi kalangan bawah (kaum marginal) ideology kapitalisme adalah ideology yang mencekik karena sebagian besar kaum marginal merasakan betapa penindasan yang dilakukan oleh kaum pemodal sudah pada tahap tidak bias ditolerir.
Konsep kapitalisme sendiri hari ini masih bisa bertahan bahkan Berjaya meninggalkan ideology saingannya yaitu sosialisme-komunisme. Itu karena kapitalisme ditopang oleh kekuatan besar yang mampu mempengaruhi opini (opinion leader) bahkan mengkonstruk budaya dalam masyarakat. Kekuatan besar tersebut adalah media (massa, cetak, elektronik). Para pelaku-pelaku capital mengguakan media untuk menopang kepentinggannya. Seperti contoh; dulu, asumsi dasar tentang kecantikan seorang wanita[3] adalah pipi yang tembem, rambut yang bergelombang, badan cenderung gemuk hal ni dikuatkan oleh lukisan salah seorang seniman dunia yaitu Leonardo da vinci dengan lukisan berjudul “monalisa” lukisan tersebut adalah bentuk wanita tercantik di dunia dengan ciri-ciri seperti yang penulis sebutkan di atas. Nah, akan tetapimelalui media (elektronik) kecantikan seorang wanita yangideal adalah berkulit putih, badan langsing, rambut lurus. Konstruksi tentang kecantkan yang dibangun oleh media adalah pesanan dari para pemilik modal yang memproduksi alat-alat kecantikan seperti rebonding, shampoo, pemutih wajah, dan juga alat-alat kebugaran pelangsing tubuh)
Fenomena diatas muncul karena adanya simbiosis mutualisme antara pelaku capital[4] dan pelaku media[5]. Untuk memahami posisi media masa dalam sistem kapitalis, terlebih dahulu kita pahami asumsi-asumsi dasar media yang melatar belakangi media massa. Pertama, institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tantang pengalaman dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini media massa memiliki posisi yang begitu penting dalam proses transformasi pengetahuan.
Asumsi dasar kedua ialah media massa memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik. Pada dasarnya media massa dapat dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara luas.
Media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal. Karena media massa harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, ia harus berusaha untuk meyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar antara lain informasi politik dan ekonomi. Di lain pihak media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara. Contohnya, pada masa Orde Baru media massa menjadi agen hegemoni dan alat propaganda pemerintah.
INDUSTRI MEDIA: SEBUAH TELAAH KRITIS
Menurut Gordon sebagaimana dikutip Rahayu, ada tiga hal penting yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu industri. Ketiga hal itu tersebut berkaitan dengan customer requirements, competitive environment, dan social expectation[6]
Customer requirement merujuk pada pengertian harapan konsumen tentang produk yang mencakup aspek kualitas, diversitas dan ketersediaan; competitive environment merupakan lingkungan persaingan yang dihadapi perusahaan. Sementara social expectation berhubungan dengan tingkatan harapan masyarakat terhadap keberadaan industri. Industri media seiring dengan revolusi teknologi komunikasi mencapai tahap industri modern dengan segala konsekuensinya. Hal ini menempatkan media pada sisi yang dilematis yakni antra pemenuhan fungsi media secara komprehensif dengan kepentingan bisnis[7].
Dalam pandangan Robert Mc Chesney, “produk-produk yang dihasilkan oleh bisnis media biasanya bernilai cukup baik dalam produksi hiburan yang menghasilkan keuntungan besar buat mereka. Tetapi apabila dibandingkan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tersebut, kualitas yang dihasilkan bisa kita bilang menyedihkan. Pada pokoknya, keseluruhan bisnis media membuat berbagai keterbatasan terhadap kehidupan politik dan budaya”[8]
 Persoalan modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan bahkan bisa jadi menyebabkan kontraproduktif bagi para kapitalis. Di antara kelemahannya itu antara lain: Pertama, para kapitalis media memang telah berusaha maksimal untuk mengurangi resiko usaha. Sebagian besar pasar yang ada sekarang ini lebih cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, dimana beberapa industri media menciptakan serangkaian hambatan yang menutup peluang pendatang baru yang mereka kuasai.
Tapi dalam artian penekanan harga, produksi dan keuntungan, kekuatan oligopolistik yang ada justru mengarah ke arah terbentuknya monopoli yang sangat jauh dari mitos: pasar yang penuh persaingan. Para kapitalis media lebih suka mengelompokan diri dan menjadikan kekuatan ekonomi berpusat dan bersifat monopolistik Selanjutnya jika seluruh media kemudian membentuk pasar monopoli maka sesungguhnya hal ini bisa berefek pada sistem demokrasi. Kita tentu menyadari bahwa dalam pasar pendapatan dan kekayaan sangat menentukan kekuatan dan kekuasaan orang.
Dalam kata pengantar untuk bukunya Agus Sudibyo, Dedy N. Hidayat menulis, media adalah realitas dalam dirinya sendiri. Kemampuan untuk menjadi pemain dalam industri media, contohnya, jelas tidak secara berimbang dimiliki publik. Pemain industri media kita tampaknya hanya akan terdiri dari kaum yang itu-itu saja. Media pun memiliki fungsi ideologis dan melakukan manuver politik sesuai dengan fungsi ideologinya. Ini akan mecakup masalah siapa, kepentingan apa dan perspektif mana yang akan memperoleh akses ke media mereka. Di luar fungsi ideologis yang dijalankan, bagaimanapun juga media pertama-tama perlu dilihat sebagai institusi ekonomi dan karenanya manuver politik yang dijalankan melalui politik pemberitaannya juga dikemas sebagai komoditi informasi yang berusaha menyiasati tuntutan pasar
 . Kedua, dalam kaitannya dengan sistem media ini berarti sistem komunikasi yang lahir tentunya harus mampu memenuhi tuntutan kebutuhan pemilik modal media. Pasar bakal memenuhi keinginan masyarakat sesuai dengan kriteria apa yang paling menguntungkan secara ekonomi dan politik bagi para pemilik modal. Akibatnya pasar didorong oleh niat para pemilik modal untuk menciptakan keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, pasar tidak akan pernah dapat mengatasi konsekuensi-konsekuensi setiap paket yang disiarkan. Memang tidak dapat diabaikan banyak produk media masa yang positif dalam arti memuaskan publik namun banyak pula pada kenyataannya mengandung aspek negatif. Tidak sedikit media yang memproduksi acara-acara dangkal dan tidak sesuai konteks budaya, hanya karena persoalan pesanan.
Ketiga, pada tingkat individu pasar juga merupakan indikasi yang menunjukan kedangkalan terhadap apa yang disebut sebagai kebutuhan dan keinginan manusia. Berdasarkan data lapangan menunjukan bahwa nilai-nilai sosial budaya semacam cinta kasih, toleransi, kekeluargaan dan solidaritas sosial digantikan oleh nilai material. Prestasi ekonomi adalah landasan uatama untuk memberikan ukuran kehormatan dan harga diri bukan karena secara moral ia berbudi luhur.
Dan keempat, banyak kekuatan ideologi pasar sebagai suatu mekanisme pengatur untuk media berasal dari metafora tentang pasar bebas ide-ide (marketplace of ideas). Pasar diandaikan sebagai suatu mekanisme pengatur yang bersifat bebas nilai dan netral. Akan tetapi dalam kenyataanya pasar bebas ide itu berlaku bagi produk yang komersil dan tidak berbenturan dengan status quolah serta mewakili pandangan yang tidak melawan sistem yang ada.

PENUTUP
Media massa mempunyai keterikatan dengan industri pasar, yang secara lebih luas dengan sistem kapitalis dan kapitalisme. Media massa mengalami kontradiksi dimana di satu sisi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal, sementara di sisi lain media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara.
Bahasan tentang konsekuensi sistem kapitalisme terhadap media massa tidak terlepas dari industri media massa itu sendiri dan prospek kebebasannya. Media massa berkembang di antara titik tolak kepentingan masyarakat dan negara sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan modal dan kekuasaan.
Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan saham atau modal untuk mengontrol isi media atau mengancam institusi media massa yang “nakal” daripada menyerupai “politisi”, mengendalikan pers dengan merekayasa hukum.
Dari uraian, ada tiga hal penting yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu industri. Ketiga hal itu tersebut berkaitan dengan customer requirements, competitive environment, dan social expectation.
Persoalan modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan bahkan bisa jadi menyebabkan kontraproduktif bagi para kapitalis. Kelemahan itu sendiri seperti: pasar yang ada sekarang ini lebih cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, pasar didorong para pemilik modal untuk menciptakan keuntungan yang sebesar-besarnya, pasar menunjukan kedangkalan terhadap kebutuhan dan keinginan manusia serta kenyataan bahwa pasar bebas ide, bebas nilai dan netral, berlaku bagi produk yang komersil dan tidak berbenturan dengan status quo.







[1] Penulis adalah mahasiswa ilmu komunikasi Unversitas Isam Balitar (UIB)
[2] Buku the welt of nation yang merupakan masterpiece dari adam smith dan juga dasar intelektual dari kapitalisme modal awal.
[3] Walaupun kecantikan relative menurur pribadi masing-masing akan tetapi ada kecantikan yang di akui umum
[4] Pemilik modal
[5] Khususnya media massa
[6] Rahayu, Analisis Dampak Pergeseran Karakteristik Industri Pers pada Strategi Perusahaan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia, dalam Jurnal Komunikasi, Vol.V/Oktober 2000, hlm.38.
[7] Chesney, Robert Mc., Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi, Andi Achdian (terj), Jakarta : Aji, Th. 1998, hlm.29
[8] Hidayat,Dedy.N, Pengantar, dalam Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: LKiS, 2001,hlm.x.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : adadeny.com | Template | Blogger
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. HMI BLITAR RAYA | HMI Komisariat Syarif Hidayatullah Blitar - All Rights Reserved
Original Design by adadeny.com Modified by Deny`s