KAPITALISME
DAN MEDIA; KAWAN ATAU LAWAN?
OLEH
M.SIROJU
MUNIR[1]
Kapitalisme pertama kali muncul di
Eropa dengan bapak moyang Adam Smith. Munculnya kapitalisme dikarenakan adanya
revolus industry di Inggris yang menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin.
Tenaga manusia banyak yang di istirahatkan (PHK) karena denan menggunakan
tenaga mesin produksi semakin meningkat dan dan dengan waktu yang semakin
singkat. Ketimpangan ekonomi terjadi di Eropa, produksi bsar-besaran dengan
daya konsumsi yang kurang karena masyarakat tidak mempunyai uang untuk membeli
keperluan.
Adam smith dengan pemikirannya[2]menegaskan
bahwa perlu adanya pasar baru untuk mendistribusikan produksi yang berlebih di
Eropa serta mencari bahan baku sebanyak-banyaknya dari tanah jajahan. Hal
inilah yang menjadikan dasar dari kolonialsme Eropa. Eropa mencari tanah jaahan
baru untuk mendapatkan kekuasaan dengan semboyan 3G (Gld, Glory, Gospel). Dan
melaluisemboyan inilah muncul kejahatan luar biasa di muka bumi khusunya di
Asia-Afrika.
Cuplikan
tulisan di atas adalah sedikit sejarah tentang kapitalisme dimana kapitalisme
yang merupakan ideology yang berbasis pasar dan penguasaan alat-alat produksi
mampu menghegemoni dunia saat ini. Kapitalisme hari ini tentuberbeda jauh
dengan kapitalisme tradisional (kapitalisme purba). Kapitalisme sekarang secara
konsep,teknis, dan segala perangkatnya tentu lebih canggih karena melalui
up-greed secara terus-menerus dan lebih dikenal dengan neo-kapitalisme.
Efek
dari ideoloi kapitalisme sangat dirasakan dalam sendi-sendi kehidupan mulai
dari kalangan atas (jet-set) hingga kalangan paling bawah(kaum marginal). Bagi
kalangan atas (jet-set) kapitalisme adalah suatu keniscayaan zaman sehingga
haus dimanaatkan dengan alan menguasai alat-alat produksi sebanyak-banyaknya
agar menjadi pelaku capital. Penguasaan alat-alat produksi (pabrik, kekuasaan,
hal-hal yang dibutuhkan orang banyak) merupakan hal-hal yang pkok agar tidak
terdepak dari lingkaran capital. Sedangkan bagi kalangan bawah (kaum marginal)
ideology kapitalisme adalah ideology yang mencekik karena sebagian besar kaum
marginal merasakan betapa penindasan yang dilakukan oleh kaum pemodal sudah
pada tahap tidak bias ditolerir.
Konsep
kapitalisme sendiri hari ini masih bisa bertahan bahkan Berjaya meninggalkan
ideology saingannya yaitu sosialisme-komunisme. Itu karena kapitalisme ditopang
oleh kekuatan besar yang mampu mempengaruhi opini (opinion leader) bahkan
mengkonstruk budaya dalam masyarakat. Kekuatan besar tersebut adalah media
(massa, cetak, elektronik). Para pelaku-pelaku capital mengguakan media untuk
menopang kepentinggannya. Seperti contoh; dulu, asumsi dasar tentang kecantikan
seorang wanita[3]
adalah pipi yang tembem, rambut yang bergelombang, badan cenderung gemuk hal ni
dikuatkan oleh lukisan salah seorang seniman dunia yaitu Leonardo da vinci
dengan lukisan berjudul “monalisa” lukisan tersebut adalah bentuk wanita
tercantik di dunia dengan ciri-ciri seperti yang penulis sebutkan di atas. Nah,
akan tetapimelalui media (elektronik) kecantikan seorang wanita yangideal
adalah berkulit putih, badan langsing, rambut lurus. Konstruksi tentang
kecantkan yang dibangun oleh media adalah pesanan dari para pemilik modal yang
memproduksi alat-alat kecantikan seperti rebonding, shampoo, pemutih wajah, dan
juga alat-alat kebugaran pelangsing tubuh)
Fenomena
diatas muncul karena adanya simbiosis mutualisme antara pelaku capital[4]
dan pelaku media[5].
Untuk memahami posisi media masa
dalam sistem kapitalis, terlebih dahulu kita pahami asumsi-asumsi dasar media
yang melatar belakangi media massa. Pertama, institusi media menyelenggarakan
produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian
simbol yang mengandung acuan bermakna tantang pengalaman dalam kehidupan
sosial. Dalam hal ini media massa memiliki posisi yang begitu penting dalam
proses transformasi pengetahuan.
Asumsi dasar kedua ialah media massa
memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman
pribadi. Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik. Pada
dasarnya media massa dapat dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara
luas.
Media massa mengalami kontradiksi
sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi
modal. Karena media massa harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap
dinamika persaingan pasar, ia harus berusaha untuk meyajikan produk informasi
yang memiliki keunggulan pasar antara lain informasi politik dan ekonomi. Di
lain pihak media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik
negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara.
Contohnya, pada masa Orde Baru media massa menjadi agen hegemoni dan alat
propaganda pemerintah.
INDUSTRI
MEDIA: SEBUAH TELAAH KRITIS
Menurut Gordon sebagaimana dikutip Rahayu,
ada tiga hal penting yang dapat digunakan sebagai patokan untuk
mengidentifikasi karakteristik suatu industri. Ketiga hal itu tersebut
berkaitan dengan customer requirements, competitive environment, dan social
expectation[6]
Customer requirement merujuk pada
pengertian harapan konsumen tentang produk yang mencakup aspek kualitas,
diversitas dan ketersediaan; competitive environment merupakan lingkungan
persaingan yang dihadapi perusahaan. Sementara social expectation berhubungan
dengan tingkatan harapan masyarakat terhadap keberadaan industri. Industri
media seiring dengan revolusi teknologi komunikasi mencapai tahap industri
modern dengan segala konsekuensinya. Hal ini menempatkan media pada sisi yang
dilematis yakni antra pemenuhan fungsi media secara komprehensif dengan
kepentingan bisnis[7].
Dalam pandangan Robert Mc Chesney,
“produk-produk yang dihasilkan oleh bisnis media biasanya bernilai cukup baik
dalam produksi hiburan yang menghasilkan keuntungan besar buat mereka. Tetapi
apabila dibandingkan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan
tersebut, kualitas yang dihasilkan bisa kita bilang menyedihkan. Pada pokoknya,
keseluruhan bisnis media membuat berbagai keterbatasan terhadap kehidupan
politik dan budaya”[8]
Persoalan modus komersialisasi industri media
massa mengandung berbagai kelemahan bahkan bisa jadi menyebabkan
kontraproduktif bagi para kapitalis. Di antara kelemahannya itu antara lain:
Pertama, para kapitalis media memang telah berusaha maksimal untuk mengurangi
resiko usaha. Sebagian besar pasar yang ada sekarang ini lebih cenderung
membentuk kekuatan oligopolistik, dimana beberapa industri media menciptakan
serangkaian hambatan yang menutup peluang pendatang baru yang mereka kuasai.
Tapi dalam artian penekanan harga,
produksi dan keuntungan, kekuatan oligopolistik yang ada justru mengarah ke
arah terbentuknya monopoli yang sangat jauh dari mitos: pasar yang penuh
persaingan. Para kapitalis media lebih suka mengelompokan diri dan menjadikan
kekuatan ekonomi berpusat dan bersifat monopolistik Selanjutnya jika seluruh
media kemudian membentuk pasar monopoli maka sesungguhnya hal ini bisa berefek
pada sistem demokrasi. Kita tentu menyadari bahwa dalam pasar pendapatan dan
kekayaan sangat menentukan kekuatan dan kekuasaan orang.
Dalam kata pengantar untuk bukunya
Agus Sudibyo, Dedy N. Hidayat menulis, media adalah realitas dalam dirinya
sendiri. Kemampuan untuk menjadi pemain dalam industri media, contohnya, jelas
tidak secara berimbang dimiliki publik. Pemain industri media kita tampaknya
hanya akan terdiri dari kaum yang itu-itu saja. Media pun memiliki fungsi
ideologis dan melakukan manuver politik sesuai dengan fungsi ideologinya. Ini
akan mecakup masalah siapa, kepentingan apa dan perspektif mana yang akan
memperoleh akses ke media mereka. Di luar fungsi ideologis yang dijalankan,
bagaimanapun juga media pertama-tama perlu dilihat sebagai institusi ekonomi
dan karenanya manuver politik yang dijalankan melalui politik pemberitaannya
juga dikemas sebagai komoditi informasi yang berusaha menyiasati tuntutan pasar
. Kedua, dalam kaitannya dengan sistem media
ini berarti sistem komunikasi yang lahir tentunya harus mampu memenuhi tuntutan
kebutuhan pemilik modal media. Pasar bakal memenuhi keinginan masyarakat sesuai
dengan kriteria apa yang paling menguntungkan secara ekonomi dan politik bagi
para pemilik modal. Akibatnya pasar didorong oleh niat para pemilik modal untuk
menciptakan keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, pasar tidak akan
pernah dapat mengatasi konsekuensi-konsekuensi setiap paket yang disiarkan.
Memang tidak dapat diabaikan banyak produk media masa yang positif dalam arti
memuaskan publik namun banyak pula pada kenyataannya mengandung aspek negatif.
Tidak sedikit media yang memproduksi acara-acara dangkal dan tidak sesuai
konteks budaya, hanya karena persoalan pesanan.
Ketiga, pada tingkat individu pasar
juga merupakan indikasi yang menunjukan kedangkalan terhadap apa yang disebut
sebagai kebutuhan dan keinginan manusia. Berdasarkan data lapangan menunjukan
bahwa nilai-nilai sosial budaya semacam cinta kasih, toleransi, kekeluargaan
dan solidaritas sosial digantikan oleh nilai material. Prestasi ekonomi adalah
landasan uatama untuk memberikan ukuran kehormatan dan harga diri bukan karena
secara moral ia berbudi luhur.
Dan keempat, banyak kekuatan
ideologi pasar sebagai suatu mekanisme pengatur untuk media berasal dari
metafora tentang pasar bebas ide-ide (marketplace of ideas). Pasar diandaikan
sebagai suatu mekanisme pengatur yang bersifat bebas nilai dan netral. Akan
tetapi dalam kenyataanya pasar bebas ide itu berlaku bagi produk yang komersil
dan tidak berbenturan dengan status quolah serta mewakili pandangan yang tidak
melawan sistem yang ada.
PENUTUP
Media massa mempunyai keterikatan
dengan industri pasar, yang secara lebih luas dengan sistem kapitalis dan
kapitalisme. Media massa mengalami kontradiksi dimana di satu sisi sebagai
institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal,
sementara di sisi lain media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi
struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam
mainstream negara.
Bahasan tentang konsekuensi sistem
kapitalisme terhadap media massa tidak terlepas dari industri media massa itu
sendiri dan prospek kebebasannya. Media massa berkembang di antara titik tolak
kepentingan masyarakat dan negara sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan
modal dan kekuasaan.
Ketika modal dan kekuasaan mengepung
media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”,
mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan saham atau modal untuk
mengontrol isi media atau mengancam institusi media massa yang “nakal” daripada
menyerupai “politisi”, mengendalikan pers dengan merekayasa hukum.
Dari uraian, ada tiga hal penting
yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu
industri. Ketiga hal itu tersebut berkaitan dengan customer requirements,
competitive environment, dan social expectation.
Persoalan modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan bahkan bisa jadi menyebabkan kontraproduktif bagi para kapitalis. Kelemahan itu sendiri seperti: pasar yang ada sekarang ini lebih cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, pasar didorong para pemilik modal untuk menciptakan keuntungan yang sebesar-besarnya, pasar menunjukan kedangkalan terhadap kebutuhan dan keinginan manusia serta kenyataan bahwa pasar bebas ide, bebas nilai dan netral, berlaku bagi produk yang komersil dan tidak berbenturan dengan status quo.
Persoalan modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan bahkan bisa jadi menyebabkan kontraproduktif bagi para kapitalis. Kelemahan itu sendiri seperti: pasar yang ada sekarang ini lebih cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, pasar didorong para pemilik modal untuk menciptakan keuntungan yang sebesar-besarnya, pasar menunjukan kedangkalan terhadap kebutuhan dan keinginan manusia serta kenyataan bahwa pasar bebas ide, bebas nilai dan netral, berlaku bagi produk yang komersil dan tidak berbenturan dengan status quo.
[1]
Penulis adalah mahasiswa ilmu komunikasi Unversitas Isam Balitar (UIB)
[2]
Buku the welt of nation yang merupakan masterpiece dari adam smith dan juga
dasar intelektual dari kapitalisme modal awal.
[3]
Walaupun kecantikan relative menurur pribadi masing-masing akan tetapi ada
kecantikan yang di akui umum
[4]
Pemilik modal
[5]
Khususnya media massa
[6]
Rahayu, Analisis Dampak Pergeseran Karakteristik Industri Pers pada Strategi
Perusahaan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia, dalam Jurnal Komunikasi,
Vol.V/Oktober 2000, hlm.38.
[7]
Chesney, Robert Mc., Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi,
Andi Achdian (terj), Jakarta : Aji, Th. 1998, hlm.29
[8]
Hidayat,Dedy.N, Pengantar, dalam Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan
Wacana, Yogyakarta: LKiS, 2001,hlm.x.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !