NARSISME ARTIS
(KEJAHATAN DI
DUNIA ENTERTAINMENT)
Oleh
M.Siroju Munir[1]
Dunia hiburan memang sebagai sebuah
magnet yang menarik semua kalangan. Bagaikan gula, di sana selalu ada semut.
Selain mendapatkan honor/gaji yang besar didunia hiburan memang menjadikan
seseorang akan popular dan dikenal oleh public. Ingat lagu keong racun? Andai
aku gayus tambunan?udin sedunia? Dan chaiya-chaiya? Lagu keong racun di
populerkan oleh lipsink duo SinJo (Shinta-Jojo) kemudian yang terakhir lagi adalah Norman Kamaru
mantan Brimop yang keluar dari satuannya hanya karena terpengaruh masuk dunia
entertainment.
Seperti
uraian di atas media hari ini telah menjadi kebutuhan pokok bagi semua orang.
Kebutuhan akan informasi tidak lagi menjadi kebutuhan sekunder atau bahkan
tersier lagi akan tetapi menjadi kebutuhan utama. Prof. Amien Rais dalam salah
satu bukunya[2]menyatakan
bahwa media sebagai salah satu delapan pilar kehidupan bangsa akan tetapi media
juga bisa menghancurkan bangsa karena media bagai dua sisi mata pedang.
Para
pekerja media khususnya televisi mempunyai pengaruh yang besar bagaikan teori
jarum suntik hipodermik, paradigm penonton bisa dikonstruksi oleh media hiburan
terlepas konstruksi media tersebut bersifat positif ataupun negative.
Oleh
karena dunia media hiburan menjanjikan seribu satu macam keuntungan maka banyak
sekali orang berlomba-lomba memasuki dunia ini apakah itu jadi bintang film,
bintang iklan, model, penyanyi dan lain-lain. Banyak sekali acara-acara yang
diselenggarakan untuk menyeleksi para calon
artis mulai dari seleksi calon penyayi (Indonesian idol, KDI, AFI, MAMAMIA)
calon pelawak (API), calon chef (master chef), calon pesulap, dan bakat-bakat
lain.
Seleksi-seleksi
yang dilakukan cukup ketat dan diselenggarakan diseluruh kota besar di Indonesia
seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makasar, Medan, Palembang dll. Mereka[3]menggandeng
sponsor-sponsor ternama untuk membiayai kontes seleksi bakat. Setelah proses
seleksi dilakukan maka diambil delapan besar dari kota-kota tersebut kemudian melanjutkan
seleksi lagi di Jakarta untuk menjadi superbintang.
Setelah
sampai di Jakarta para calon bintang akan ditempatkan di asrama untuk bergabung
dengan calon-calon lainnya diberbagai kota, keseharian mereka diatur dengan
jadwal sesuai dengan scenario, selain itu seluruh aktifitas keseharian yang
telah diatur juga dipublikasikan keseluruh Indonesia melalui tayangan TV.
Pertanyaan lanjutan adalah apakah keseharian yang mereka jalankan dan ditonton
oleh ribuan penggemarnya sesuai dengan hati nurani mereka(calon superstar)?
Apakah mereka menjalani dengan enjoy atau dengan terpaksa?
Selanjutnya
setiap akhir pekan para calon bintang akan unjuk kebolehan mereka dalam
panggung spektakuler[4] mekanisme
ini berlaku pada beberapa acara ajang pencarian bakat. Dalam proses unjuk
kebolehan tersebut, durasi dari stasion TV penyelenggara luar biasa panjang.
Bayangkan tayangan dimulai dari jam 7 malam hingga jam 12 malam.
Dalam
acara tersebut memang disediakan juri untuk member komentar, akan tetapi juri terdiri dari beberapa orang yang
mempunyai kapasitas dan kapabilitas tidak punya hak untuk memutuskan calon yang
lolos atau tidak. Mereka hanya punya hak untuk mengkomentari dan menyelamatkan
satu peserta saja dalam seluruh even sampai selesai[5].
Mekanisme
penilaian ditentukan oleh poling sms yang dikirimkan oleh penggemar dari rumah.
Biasanya pembuat acara bekerjasama dengan conten provider untuk bisnis ini,
satu kali sms bertarif 2000 Rupiah yang artinya tiap 1000 sms maka yang
dikeluarkan adalah Rp 2juta rupiah. Kejadian dipermukaan tentunya tidak seperti
yang sebenarnya teori dramaturgi berlaku disini. Kelihatannya penggemar calon
bintang ini memperoleh dukungan sangat besar sekali akan tetapi sebenarnya dia
sendiri yang mengirim sms dukungan untuk dirinya.
Kalau
tiap pekan peserta agar tidak keluar dari kompetisi harus mengeluarkan uang
untuk mencapai target dukungan sms maka berapa banyak yang harus dikeluarkan
sampai akhir kompetisi? Itupun hanya satu orang yang menjadi juara sedangkan
yang lainnya akan kembali ke kehidupannya semula dengan hutang banyak sekali
serta meninggalkan kahidupan fatamorgana mereka.
Dalam
hal ini siapa yang diuntungkan? Analisa penulis mengatakan bahwa pembuat acara
seleksi bakat dan konten provider yang diuntungkan dalam hal ini. Sedangkan para
peserta kompetisi seleksi bakat sangat dirugikan dengan impian-impian semu
sedangkan konten provider hanya mengeluarkan tidak lebih dari 5% dari
keuntungan untuk hadiah juara.
Bagitu
susah hanya untuk menjadi calon artis saja apalagi kalau sudah menjadi artis.
Prsaingan di dunia entaertainment lebih kejam daripada persaingan politik. Sang
artis rela menggadaikan kehormatannya hanya untuk mendapatkan peran utama
sehingga kualitas film di Indonesia hari ini semakin menurun karena pemeran
utama bukan artis yang berkualitas melainkan karena dekat dengan produser.
Fenomena
lain yang bisa disorot adalah adanya narsisme dari beberapa orang yang ingin
secara instan menjadi artis, mereka meng up-load kebolehan di you-tube.
Ingatkan Norman Kamaru? Fenomena narsisme menjadi artis adalah hal yang
mengkhawatirkan karena indikator kesuksesan hanya diukur kalau menjadi artis.
Mereka berlomba-lomba eksis di dunia maya karena ingin eksis seperti Justin
Bieber yang sukses karena up-load di you-tube.
Akhir
tulisan penulis hanya menekankan kasuksesan tidak dihitung dari berapa banyak
materi dan popularitas yang didapatkan akan tetapi berapa bahagia kita
menjalani kehidupan.
[1]
Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi Universitas Islam Balitar (UIB) Jurusan
Ilmu Komunikasi
[2] We
our nation, agenda mendesak bangsa selamatkan Indonesia, yogjakarta, 2008
[3]
Agen pencari bakat
[4]
Bahasa yang sering digunakan untuk istilah unjuk kebolehan tiap akhir pekan
[5]
Mekanisme ini seperti di Indonesian idol tetapi mekanisme ini juga nampaknya
berlaku dibeberapa pencarian bakat.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !