1. LATAR BELAKANG BERDIRI
A.
KONDISI
SOSIAL POLITIK
Blitar
adalah salah satu wilayah di sebelah selatan Pulau Jawa, tepatnya di Jawa
Timur. Secara geografis Blitar adalah persimpangan tiga kota besar yaitu
Malang, Kediri, dan Tulung Agung. Sebelah timur, Blitar berbatasan langsung
dengan Malang, di sebelah utara Blitar berbatasan dengan Kediri. Disebelah
barat, Blitar berbatasan dengan Tulung Agung. Sedangkan di sebelah selatan,
Blitar berbatasan langsung dengan laut selatan yakni laut yang terkenal dengan
ombaknya yang besar dan mitos tentang penguasa laut selatan yakni Nyi Roro Kidul.
Sebagai kota
persimpangan, Blitar sering dijadikan transit antar kota, sehingga peran Blitar
cukup strategis untuk wilayah jalur perdagangan,
Kalau
menurut kontur tanah yang dimiliki, blitar dibagi menjadi dua wilayah yaitu
Blitar utara dan Blitar selatan. Tanah diwilayah Blitar utara cenderung subur
karena dekat denga gunung kelud yakni salah satu gunung di jawa yang masih
aktif. Sedangkan tanah di wilayah Blitar selatan cenderung berbatu sehingga
tingkat kesuburan tanah berkurang dibandingkan dengan tanah yang ada di Blitar
utara.
Blitar
secara administratif terbagai menjadi dua pemerintahan yaitu kota madya dan
kabupaten. Kota madya terdiri dari tiga kecamatan yaitu :
a. Kecamatan Sananwetan
b. Kecamatan Sukorejo
c. Kecamatan Kepanjen Kidul
Sedangkan Kabupaten terdiri
dari 22 Kecamatan yaitu :
a) Udanawu
b) Wonodadi
c) Srengat
d) Ponggok
e) Sanankulon
f) Nglegok
g) Sutojayan
h) Garum
i)
Talun
j)
Selopuro
k) Wates
l)
Binangun
m) Selorejo
n) Kesamben
o) Kanigoro
p) Wonotirto
q) Kademangan
r) Mbakung
s) Wlingi
t) Ndoko
u) Gandusari
v) Panggungrejo
Tata kota
pemerintahan Blitar layaknya Kabupaten-kabupaten di Indonesis berupa bangunan
Pendopo lengkap dengan pringitan, alun-alun, pasar, dan masjid karena bagi
orang Jawa hal itu mengandung nilai filosofis. Pendopo sebagai lambang
pelayanan publik, alun-alun sebagai simbol manunggaling
kawulo gusti , masjid bermakna spiritual dan pasar mengandung arti
aktivitas perekonomian,
Secara
historis posisi Blitar cukup vital bagi bangsa Indonesia, baik sesudah
kemerdekaan maupun zaman kerajaan-kerajaan. Pada zaman kerajaan Majapahit,
Blitar sebagai pusat peribadatan bagi kerajaan, terbukti dengan didirikannya
Candi Penataran oleh Raja Majapahit dan menurut riwayat Prabu Jayanegara
sebelum meninggal sering berkunjung ke Candi Penataran. Blitar juga sebagai
kawasan netral diantara kawasan yang saling bertikai seperti Singosari/Tumapel
di Malang, Daha/Panjalu di Kediri, kemudian Trowulan/Majapahit di Mojokerto,
sehingga Blitar memiliki posisi yang cukup strategis diantara tiga kawasan
tersebut.
Pada zaman
menjelang kemerdekaan, nama Blitar kembali mencuat dengan meletusnya perlawanan
PETA (Pembela Tanah Air) terhadap pemerintah kolonial Belanda yang di pimpin
oleh Sudanco Supriadi. Perlawanan PETA diakui atau tidak mengilhami para pemuda
untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Perlawanan
PETA selain sebagai penyeimbang antara perjuangan diplomasi dan persenjataan
juga sebagai ajang latihan dan juga pengalih perhatian dunia bahwa di Indonesia
masih terjadi penjajahan.
Di Blitar
juga bersemayam jasad dari salah satu Proklamator Indonesia yaitu Ir.Sukarno
yang hari ini makamnya masih sering dikunjungi oleh para peziarah. Selain makam
perpustakaan Bung Karno juga memiliki ribuan koleksi buku yang bisa dinikmati
oleh para penggemar buku.
Selain makam
dan perpustakaan, hal penting lainnya adalah ajaran-ajaran
Sukarno yang hari ini masih dikagumi oleh banyak orang. Ajaran tentang
Marhaenisme, Pancasila dll.
Blitar dulu
adalah pusat kegiatan keagamaan kerajaan Majapahit, dan termasuk wilayah
pedalaman karena jauh dari pelabuhan-pelabuhan besar seperti Gresik, Tuban,
Lamongan, dan Surabaya sehingga secara kebudayaan Blitar bersifat statis karena
sedikit sekali terkena pengaruh dari luar. Dibanding dengan Kediri yang
mendapat ajaran Islam yang lebih kuat, Blitar hanya sedikit terpengaruh dengan
ajaran Islam dan masih mempertahankan keyakinan kejawen, meminjam bahasa
Clifort Geertz, rata-rata penduduk Blitar adalah kaum abangan tanpa menafikan
yang lain.
Dilihat dari
kacamata politik, pemimpin-pemimpin di Blitar rata-rata beridiologi nasionalis
karena masih banyak yang mengagumi dan mengikuti ajaran-ajaran dari Bung Karno.
Partai-partai yang berhaluan nasionalis mendapatkan tempat di hati masyarakat
kota dan kabupaten Blitar.
B. GERAKAN MAHASISWA
Indonesia
mengalami berbagai perubahan zaman dan perubahan-perubahan itu terjadi secara
alamiah dan juga rekayasa sosial. Perubahan yang terjadi karena rekayasa sosial
tentu ada faktor pendorong sosial. Salah satu moment penting bangsa Indonesia
yang terjadi karena rekayasa sosial, adalah proklamasi 1945, pergolakan 1965,
dan reformasi 1998.
Aktor-aktor
sosial pada waktu itu, dibuktikan dengan fakta sejarah adalah para pemuda
(mahasiswa). Para pemuda terpelajar (mahasiswa) dalam strata sosial menempati
posisi midle (tengah) sehingga bisa menjembatani antara kepentingan-kepentingan
kelompok elit (penguasa dan pengusaha) dengan kelompok strata bawah (buruh,
tani, dan nelayan).
Secara
historis gerakan pemuda bisa dilacak pada awal abad ke-XX. Untuk memenuhi
kepentingan anak-anak para kolonialis Belanda yang berada di Indonesia
orang-orang Belanda telah membuka sekolah-sekolah dengan standart Eropa antara
lain ELS (Europeesche Lagere School). Sekolah-sekolah tersebut kebanyakan
diselenggarakan oleh organisasi penyebar agama seperti Missi atau Zending. Akan
tetapi kontribusi pendidikan terhadap perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan
diri dari kekuasaan penjajahan Belanda baru memiliki dampak signifikan setelah
pendidikan dilaksanakan secara massif sehubungan dengan politik etis yang
dilaksanakan Belanda.
Politik etis
adalah kebijakan Belanda bagi tanah jajahan melalui bentuk Edukasi
(pendidikan), Irigasi (pengairan), dan Transmigrasi (perpindahan penduduk).
Kebijakan politik etis adalah sebagai suatu hutang kehormatan dari pemerintah
Belanda terhadap masyarakat pribumi di daerah jajahan. Adalah Van Deventer
(1880-1897) seorang ahli hukum di Hindia Belanda yang mengkritik kebijakan
pemerintah Belanda terhadap Pribumi di negeri jajahan. Dia menerbitkan salah
satu artikel berjudul “Een eereschuld” (suatu hutang kehormatan) dalam majalah
De Gids.
Sebenarnya
kebijakan ini juga tidak lepas dari kemajuan usaha-usaha perekonomian di Hindia
Belanda (Indonesia) yang membutuhkan banyak tenaga profesional dari pribumi
yang bisa diupah rendah selain itu merasa punya hutang budi terhadap belanda
karena diberi pendidikan.
Dalam pada itu,
di pihak pemerintahan kolonial Belanda sendiri terdapat perbedaan tentang
penerapan pendidikan bagi pribumi. Aliran pertama yang dipelopori oleh Snouck
Hurgronye dan direktur pendidikan J.H Abendanon (1900-1905) mendukung
pendidikan yang bersifat similasi yang elitis. Menurut paham ini dinyatakan
bahwa pendidikan yang tepat adalah pendidikan gaya Eropa dengan bahasa
pengantar adalah bahasa Belanda bagi kaum elit yang bisa dipengaruhi oleh
Belanda. Dengan demikian pemerintah kolonial bisa memantau sekaligus mendapatkan
tenaga professional yang murah daripada tenaga-tenaga orang Eropa. Pada tahun
1891 pemerintah mulai membuka sekolah-sekolah rendah Eropa sebagai syarat wajib
bagi yang hendak masuk OSVIA atau STOVIA.
Aliran kedua,
didukung oleh Van Heutz dan Idenburg keduanya adalah gubernur jendral yang
ditempatkan di Hindia Belanda secara berurutan. Menurut mereka pendidikan yang
mendasar dan praktis dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah dianggap
akan secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ternyata dalam
perkembangan pendidikan bagi penjajah bagai pisau bermata dua, di satu sisi
pemerintah membutuhkan tenaga kerja professional dari pribumi dengan gaji
rendah akan tetapi di sisi yang lain menghasilkan sekelompok warga yang mampu
melihat kondisi bangsanya secara kritis dan kemudian memperjuangkan perbaikan
bagi bangsanya.
Dengan demikian
abad ke-XX terjadilah perubahan-perubahan mendasar dengan munculnya
pelajar-pelajar pribumi yang gelisah dengan keadaan-keadaan bangsanya.
Perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda berganti dari perang
menggunakan senjata beralih dengan mendirikan organisasi-organisasi Modern.
Organisasi modern
pertama yang terbentuk adalah Budi Utomo (1908) yang didirikan oleh sekelompok
mahasiswa STOVIA (sekolah kedokteran) yang dipelopori oleh Dr.Sutomo dan
kawan-kawannya di STOVIA. Budi Utomo cepat dikenal oleh masyarakat sebagai
organisasi modern dengan dibantu oleh surat kabar harian “Medan Prijaji” yang dipimpin oleh R.M Tirto Adi Suryo seorang
pribumi pertama yang menerbitkan surat kabar sendiri bagi bangsanya.
Budi Utomo,
idiologinya bersifat Jawa dan arah kebijakannya dibidang pendidikan kemudian
banyak diikuti oleh pelajar-pelajar lain dalam mendirikan organisasi seperti
Syarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah nama menjadi Syarikat Islam
(SI) yang berdiri dua tahun kemudian dari Budi Utomo. SDI/SI bergerak lebih
luas daripada Budi Utomo karena SDI/SI tidak membatasi anggota hanya berasal
dari priyayi Jawa akan tetapi seluruh pribumi yang berada di bawah kekuasaan kolonial
Belanda. SDI/SI berbasis Islam dalam mengambil unsur persamaan untuk menyatukan
masyarakat tokoh-tokohnya antara lain R.M Tirto Adi Suryo, H Samanhudi, dan
H.O.S Cokroaminoto.
Sejak saat itulah
banyak organisasi mulai tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Masyarakat
mulai mengerti pentingnya organisasi untuk menyampaikan pendapat dan juga
sebagai alat untuk memperkuat posisi tawar (bargaining
power) terhadap pemerintah kolonial Belanda. Banyak organisasi lahir
berdasarkan ideologinya masing-masing seperti Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama
(NU) yang beridiologi Islam sebagai alat perjuangan. PKI (Partai Komunis
Indonesia), ISDV (Indische Veregening Democratie Social) yang berhaluan
Marxis-Komunis, PNI (partai Nasional Indonesia), Partai Bangsa Indonesia, dan
Parindra yang berideologi Nasionalis-Marhenis.
Dalam periode ini
para pemuda telah menemukan jati diri
bangsa Indonesia dan mengikrarkan diri pada tahun 1928 dalam Sumpah Pemuda
yaitu pernyataan bahwa para pemuda berbangsa, bertanah air dan berbahasa
INDONESIA.
Lewat media massa
barbagai organisasi saling berlomba berebut pengaruh khususnya kalangan pemuda.
Dan secara garis besar pengaruh-pengaruh organisasi mengerucut menjadi tiga ideologi
yaitu ideologi yang berorientasi pada Islam, Nasionalisme,
Sosialisme-Komunisme. Dan pertarungan ideologi tersebut berlangsung lama hingga
masa kemerdekaan.
Pada akhir
pendudukan Jepang (1945) para mahasiswa telah menjadi tokoh berbagai organisasi
dengan berbagai ragam cara berjuang yang mereka tempuh hingga memperoleh
kemerdekaan pada tahun 1945.
Dalam berbagai
peristiwa monumental para pemuda dan mahasiswa mengambil peran sebagai aktor
perubahan (agen of change) yang tidak kenal lelah. Kemudian masuk dalam kancah
pertarungan kekuasaan dengan segala idealism dan rekam jejak mahasiswa.
Dalam periode
kemerdekaan tugas mahasiswa sebagai aktor perubahan lebih kompleks daripada
generasi sebelumnya karena generasi pasca kemerdekaan bertugas untuk mengisi
kemerdekaan dengan hal-hal yang mampu memperbaiki kondisi social masyarakat.
Adalah suatu
keniscayaan pertarungan ideology berlanjut dalam masa pasca kemerdekaan.
Partai-partai politik mengusung ideologinya dalam parlemen. Dan tiap-tiap
partai politik membentu underbow (organisasi sayap). PNI yang beridiologi
Nasionalis-marhenis membentuk underbow GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis
Indonesia), PKI yang beridieologi Marxis-Komunis membentuk underbow CGMI
(Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Partai NU membentuk underbow PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Partai Kristen Membentuk GMKI (Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia). Dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang berdiri
sendiri sejak kelahirannya pada 5 Februari 1947 dan bersifat Independen secara
politik pucuk pimpinannya dekat dengan parta MASYUMI walaupun bukan sebagai
underbow. Dan keseluruhan organisasi pemuda di atas kecuali CGMI pada
perkembangannya melepaskan diri dari induk partainya dan membentuk kelompok
Cipayung yang terdiri dari organisasi-organisasi mahasiswa independen.
Para
aktivis-aktivis gerakan mahasiswa pada 1965-1966 telah mampu bergerak secara
massif dan menghasilkan gerakan yang dinamakan Orde-Baru sebagai anti-thesa dari pemerintahan
Orde-Lama yang di isi oleh aktivis-aktivis generasi tua. Para aktivis yang
menumbangkan Orde-Lama antara lain Mahbub Djunaidi (PMII), Cosmas Batubara
(PMKRI), Suryadi (GMNI), Sulastomo, Jusuf Kalla (HMI) adalah beberapa dari
beratus tokoh aktivis mahasiswa yang telah menumbangkan Orde-Lama dan masuk
dalam pemerintahan Orde Baru dibawah Jendral Suharto. Para tokoh angkatan 66
diatas pada masanya memang aktivis muda yang penuh inisiatif. Akan tetapi
setelah masuk dalam kekuasaan pemerintah, hukum alam tidak dapat mereka hindari
bahwa mereka kemudian juga menjadi establish yang mempertahankan status-quo
seperti mahasiswa-mahasiswa terdahulu.
Dan untuk
kesekian kalinya generasi tua ini dibawah pemerintahan Orde-Baru ditumbangkan
oleh generasi-generasi muda angkatan 98 yang tidak tahan dengan kondisi social,
politik, ekonomi yang mengkhawatirkan.
Gerakan mahasiswa
98 masih ditopang oleh organisasi-organisasi ekstra kampus seperti HMI, GMNI,
PMII, GMKI, PMKRI, IMM dan munculnya organisasi-organisasi baru seperti KAMMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), SMID (serikat Mahasiswa Indonesia
untuk Demokrasi), FORKOT (Forum Kota), Dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
C. ANALISIS KAMPUS
Pergerakan
mahasiswa tidak hanya pada tataran nasional saja, akan tetapi melingkupi juga
daerah-daerah di mana ada basis mahasiswa artinya di setiap daerah yang
mempunyai perguruan tinggi baik besar maupun kecil disitu bisa dipastikan ada
pergerakan mahasiswa.
Salah satu kota
kecil yang mempunyai basis pergerakan mahasiswa adalah Blitar. Seperti
disinggung di atas bahwa Blitar mempunyai sejarah panjang dalam masa-masa
kemerdekaan dengan munculnya pemberontakan (perlawanan) PETA yang dipimpin oleh
Sudanco Supriadi. Pada tataran selanjutnya Blitar berkembang seperti kota-kota
lain di Indonesia. Struktur pembangunan di galakkan mulai dari gedung
pemerintahan, pasar, rumah sakit dan perguruan tinggi (kampus). Dalam hal yang
trakhir ini, Blitar mampunyai beberapa kampus antara lain
Ø STIKIP Blitar
Ø UIB (Universitas Islam Blitar)
Ø STIT (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah) AL-Muslihun
Ø AKPER
Ø Kampus PGSD UM (kampus cabang Universitas
Negeri Malang Yang di Blitar)
Ø STIKEN (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi)
Beberapa kampus yang ada di Blitar
ini mempunyai corak tersendiri karena beberapa perbedaan seperti jumlah
mahasiswa, menejemen kampus, infrastruktur kampus sehingga mempengaruhi gerakan
mahasiswa yang ada didalamnya.
Ø STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan)
STKIP PGRI Blitar adalah kampus
terbesar yang ada di Blitar. Secara kuantitas mahasiswa data tahun 2008
menunjukkan bahwa STKIP mempunyai jumlah mahasiswa sekitar 2000. Sampai tahun
2012 ini STKIP mampunyai 3 prodi (program studi) yakni PPKN (pendidikan
pancasila dan kewarganegaraan), Pendidikan Bahasa Inggris, dan Pendidikan
Matematika.
Mahasiswa STKIP berasal dari
daerah-daerah sekitar Blitar dan secara ideologis mahasiswa STKIP berasal dari
berbagai kalangan baik itu kalangan nasionalis, Islam, Kristen dan lain-lain.
Sehingga gerakan mahasiswa yang ada di STKIP relative heterogen dan mempunyai
basis dan cirri khas tersendiri dari gerakan mahasiswa dikampus lain yang ada di
Blitar.
Ø UIB (Universitas islam Balitar)
Bisa dikatakan bahwa kampus ini
adalah satu-satunya universitas yang ada di Blitar. Tahun 2008 kampus ini
tercatat mempunyai 9 Fakultas dan 17 Prodi. Namun secara kuantitas mahasiswa
kampus ini masih kalah dengan STKIP.
Mahasiswa di UIB juga berasal dari
berbagai kalangan sehingga gerakan mahasiswa di UIB juga relative heterogen.
Akan tetapi dominasi ideology nasionalis cukup kental di UIB karena banyak
mahsiswa dan dosen UIB mengikuti ajaran Bung Karno.
Ø STIT (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah)
STIT AL-Muslihun adalah perguruan
tinggi tertua di Blitar. Perguruan tinggi ini secara cultural berbasis pada NU
(Nahdlotul Ulama). Sehingga rata-rata mahasiswa STIT adalah kaum Nahdliyin.
Oleh karena itu gerakan mahasiswa di STIT bersifat homogeny dan satu gerakan.
Maka dinamika di STIT cenderung kurang karena didominasi oleh satu organ saja.
Ø AKPER (Akademi Keperawatan)
Di kampus ini yang ditekankan
adalah profesionalisme mahasiswa sehingga rata-rata mahasiswanya focus untuk
kuliah. tugas serta jadwal praktek yang padat tidak memungkinkan untuk
munculnya gerakan mahasiswa. Selama dalam pengamatan penulis kampus ini
cenderung bersih dari gerakan mahasiswa walaupun ada beberapa individu-individu
yang aktif dalam gerakan.
Ø Kampus III UM
Universitas Negeri Malang (UM)
berpusat di kota Malang. akan tetapi mempunyai cabang yang ada di Blitar untuk
FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan) Jurusan PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) dan
Fakultas Ekonomi yang pindah tahun 2009 di Malang sehingga sejak tahun 2009
hanya PGSD yang bertempat di Blitar.
Corak gerakan mahasiswa di kampus III UM
hamper sama dengan kampus pusat di Malang. mahasiswa di kampus ini terdiri dari
berbagai kalangan sehingga memungkinkan untuk beberapa organ ekstra dari
berbagai ideology masuk.
Ø STIKEN (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi)
Kampus yang terletak di
tengah-tengah kota Blitar ini sepi dari gerakan. Dikarenakan secara kuantitas
mahasiswa STIKEN lebih sedikit dari yang lain. STIKEN hanya membuka satu
jurusan saja selain itu rata-rata mahasiswa kampus ini adalah perempuan
sehingga “greget” untuk bergabung dalam gerakan relative kecil
D. MENGENAL ORGAN EKSTRA DI BLITAR
Di kalangan
perguruan tinggi potensi mahasiswa selain diasah di kampus khususnya dikelas
melalui pelajaran-pelajaran dan mata kuliah, potensi mahasiswa juga di asah di
organisasi.
Kalau diatas
dijelaskan tentang gerakan mahasiswa sejak awal abad ke-XX dan penjelasan di
atas menyinggung sedikit tentang organisasi maka dalam pembahasan kali ini akan
di perdalam tentang organisasi mahasiswa.
Ada dikotomi
organisasi dalam dunia kampus. Yakni organisasi intra kampus (ORMIK) dan organisasi ekstra kampus (ORMEK).
Organisasi intra kampus secara administrative di akui oleh kampus
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !